Kisah Abu Lubabah Saat Terjadinya Perang Badar

Source: en.wikipedia.org

Keadaan Madinah sebelum Perang Badar

Abu Lubabah – Ketika para Muhajirin dan Anshar telah disatukan dalam
ikatan saudara, Rasulullah Saw mulai memperkokoh kekuatan Islam di kota
Yatsrib. Hal ini dimulai dengan didirikannya sebuah Masjid, tempat sentral
sebagai pusat pergerakan kaum Muslimin.

Setelah meletakkan dasar-dasar pengokohan komunitas Muslim,
Rasulullah Saw juga mulai mengembangkan sayap Islam ke ranah pemerintahan kota.
Namun, belum sempat hal itu terjadi, terdengar kabar jika kaum Quraisy sedang
menyiapkan 1.000 pasukan di Makkah.

Semua itu mereka lakukan, karena ingin membinasakan agama
baru, yang telah menghancurkan keyakinan nenek moyang mereka.

Tentu saja, hal ini langsung menyita perhatian dari seluruh
jazirah Arab. Terlebih lagi, hal ini langsung menjadi perhatian serius dari
kaum Muslimin di Madinah, yang menjadi target 1.000 pasukan tersebut.

Kala itu, Rasulullah Saw bermusyawarah dengan para sahabat
untuk menghadang pasukan Quraisy. Lalu diputuskan, mereka akan menghadang 1.000
pasukan itu di bukit Badar, yang tak jauh dari kota Madinah.

Sebelum meninggalkan kota, Rasulullah Saw memerintahkan
Abdullah bin Ummi Maktum untuk menjadi penggati Beliau Saw dalam mengurusi
penduduk Madinah yang tak ikut berperang.

 

Perjalanan menuju perang Badar

Di sisi lain, Abu Lubabah yang juga ikut bermusyawarah,
tentu saja mematuhi perintah dan mempersiapkan dirinya untuk berangkat
berperang. Kemudian, beliau menemui Rasulullah Saw, dengan senjata di
tangannya, dan mengungkapkan keinginannya untuk mendampingi Rasulullah Saw.

Akhirnya, 313 lelaki dari kaum Muslimin berangkat menuju
bukit Badar.

Seperti yang kita tahu sebelumnya, jika pusat perputaran
ekonomi di Jazirah Arab terletak di Makkah, yang mempunyai Ka’bah sebagai pusat
perekonomian. Hal ini disebabkan, sudah menjadi tradisi sejak zaman dahulu,
jika Ka’bah akan menjadi tempat perdagangan terbesar di saat musim Haji tiba.
Karena, seluruh masyarakat Arab sangat menghormati dan menyucikan tempat ini.

Oleh karena itu, para sahabat Muhajirin yang berhijrah ke
Madinah dengan bekal secukupnya, dan tak memiliki harta yang banyak. Di sisi
lain, para sahabat Anshar juga tak cukup kaya untuk menopang biaya perang
sendirian. Karena, sebagian besar penduduk yang masuk ke dalam Islam adalah
dari kalangan menengah ke bawah.

Akhirnya, saat perjalanan menuju ke Badar, setiap tiga orang
Muslimin menunggangi satu ekor unta, secara bergantian. Karena, perang ini
merupakan perang pertama yang terjadi dalam sekala lebih dari seribu orang yang
terlibat. Sehingga, persiapannya pun juga harus lebih besar dan memakan sumber
daya yang lebih banyak.

Dalam perjalanan ini, Abu Lubabah, Ali bin Abi Thalib, dan
Rasulullah Saw menunggangi satu ekor unta.

Suatu ketika, pada saat tiba giliran Rasulullah Saw untuk
berjalan.

Keduanya (Abu Lubabah dan Ali bin Abi Thalib) sepakat dan berkata,
“Biarlah kami saja yang berjalan.”

Namun, Beliau Saw bersabda, “Kalian berdua tidaklah lebih
kuat dari diriku. Aku pun masih memerlukan pahala, lebih dari yang kalian
berdua perlukan.”

Jika kamu ingin mengetahui tentang Kisah kehidupan Abu Lubabah, silahkan lihat di sini.

 

Kisah Abu Lubabah dalam perang Badar

Awalnya, tugas untuk memerintah dan menjaga kota Madinah
dipimpin oleh Abdullah bin Ummi Maktum. Namun, terjadi berbagai penolakan dan
perselisihan pendapat, ketika Abdullah bin Ummi Maktum yang memimpin. Mungkin,
hal ini disebabkan karena kondisi fisik Ibni Ummi Maktum yang tak sempurna.

Oleh karena itu, ketika pasukan Muslim sampai di dekat
daerah Rauha yang berjarak 36 mil dari Madinah, Rasulullah Saw memerintahkan
Abu Lubabah untuk kembali.

Penjagaan keamanan dan ketertiban kota. Kestabilan dagang
dan politik antara umat Islam dan umat yang lain. Keamanan bagi lahan pertanian
dan kebun-kebun produksi. Serta, kebutuhan pokok bagi para penduduk juga
merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dengan medan perang.

Apalagi, ketika ada banyak kemungkinan, jika kaum Quraisy
mengirim pasukan terpisah atau penyusup, untuk membuat Madinah kacau/chaos.
Atau, kebutuan tiba-tiba tentang suplai senjata dan logistik yang bisa saja
terjadi, tergantung bagaimana alur peperangan terjadi. Dan juga,
pemberontakan-pemberontakan yang bisa saja muncul, dari kabilah/kaum yang
tersingkirkan sejak kedatangan Rasulullah Saw dan para sahabat Muhajirin.

Oleh karena itu, Abu Lubabah segera kembali ke kota Madinah,
walaupun telah menempuh setengah perjalanan menuju ke bukit Badar. Beliau
menjaga amanah tersebut, hingga pasukan Muslimin kembali dari medan perang.

Sesampainya di Madinah, beliau langsung menggantikan posisi
Ibni Ummi Maktum sebagai Amir/pemimpin kota. Lalu, Abdullah bin Ummi Maktum
yang awalnya merangkap sebagai Amir dan Imam Shalat lima waktu, diberikan
kewajiban untuk menjadi Imam Shalat saja.

Meskipun Abu Lubabah tidak ikut dalam perang Badar,
Rasulullah Saw tetap menetapkan bagian dari ghanimah/ harta rampasan untuk
Abu Lubabah. Dengan demikian, beliau juga termasuk sebagai ‘Sahabat Badar’ atau
veteran perang Badar.

 

Dari kisah ini dapat kita tarik kesimpulan, memanglah benar
jika jihad fii sabillah adalah sesuatu yang mulia. Namun, kita juga
harus memikirkan kondisi dari kampung/ basecamp kita, agar tetap aman dan tidak
menimbulkan gejolak internal.

Selanjutnya, kita juga harus bisa mengerti tentang berbagai
kemungkinan-kemungkinan yang akan diambil oleh lawan (baik lawan yang asli atau
pun calon lawan yang masih bersembunyi).

Andai kata hal ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,
yang mana kita sedang dalam kondisi damai…

Kita juga diharuskan mempersiapkan rencana dan sumber daya
cadangan, tak kala situasi-situasi tak terduga terjadi. Hal ini untuk
menjadikan kita tak kewalahan, tak kala kita mendapatkan ujian/musibah yang tak
terduga. Sehingga, kita lebih siap untuk menghadapi ujian/musibah tersebut.

 

Wallohu’alam

Leave a Comment