Kisah Hikmah: Nasehat dari Imam Abu Hanifah untuk Si Pemalas

Kisah Imam Abu Hanifah dengan Orang Malas



Pada
dasarnya, malas merupakan sifat alami yang wajar bagi setiap orang. Namun, rasa
malas sering menjadi penyebab munculnya masalah lain yang dapat merugikan.

Misalnya,
ketika kita sedang dihadapkan dengan waktu luang yang seharusnya diisi dengan
mengerjakan tugas, dikarenakan rasa malas datang, akhirnya tugas pun tidak
terselesaikan. Selain itu, dengan adanya rasa malas akan mengakibatkan turunnya
skala produktivitas seseorang, karena sifat malas identik dengan menunda-nunda
pekerjaan.


Islam adalah agama yang mengajarkan untuk senantiasa bersemangat
dalam bekerja dan tidak bermalas-malasan. Dalam Islam, semua permasalahan hidup
yang dialami manusia sudah diatur dan diberikan solusi sesuai ajaran kebenaran.


Banyak
orang yang ingin menjadi kaya namun enggan berusaha. Hal itu salah, karena
sejatinya setiap keinginan itu harus dibarengi dengan usaha seperti yang
diajarkan dalam Islam.

Sebelum
membaca kisah di bawah ini, yuk kita baca terlebih dahulu kisah orang miskin yang tidak pernah menjadi kaya. Dari sana kita dapat mengambil banyak pelajaran
yang dapat kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.


Semoga
kisah di bawah ini dapat menginspirasi dan mendorong kita untuk lebih semangat
dalam bekerja, belajar, dan melakukan hal-hal bermanfaat lainnya.

Alkisah,
pada suatu hari Imam Abu Hanifah berjalan-jalan melewati sebuah rumah yang
jendelanya masih terbuka. Beliau mendengar suara orang yang sedang menangis
tersedu-sedu dan mengeluh. Dia berkata, “Hmm… betapa malangnya nasibku ini,
sepertinya tidak ada lagi orang yang lebih malang dari nasibku yang celaka ini.
Sudah seharian belum datang sesuap nasi bahkan belum ada makanan yang masuk ke
kerongkonganku ini. Seluruh badanku terasa begitu lemah lunglai. Andai saja ada
hati yang belas kasihan dan sudi memberiku air minum walaupun hanya sedikit.”


Setelah
mendengar keluhan itu, Imam Abu Hanifah merasa kasihan. Beliau pun balik ke
rumahnya dan mengambil bungkusan yang hendak diberikan kepada orang itu. Ketika
Imam Abu Hanifah sampai di rumah orang itu, beliau langsung melemparkan
bungkusan yang berisi uang kepada si malang tadi lalu meneruskan perjalanannya.
Kemudian, setelah mendapati sebuah bungkusan yang tidak diketahui dari mana
datangnya, si malang pun terkejut. Dia tergesa-gesa membukanya. Setelah dibuka,
nyatalah bungkusan itu berisi uang dan selembar kertas yang bertulis, “Hai kawan,
sungguh tidak wajar kamu mengeluh seperti itu, kamu tidak perlu mengeluh dengan
nasibmu. Ingatlah kepada kemurahan Allah swt dan cobalah bermohon meminta kepada-Nya
dengan bersungguh-sungguh. Maka, janganlah kamu berputus asa dan teruslah
berusaha!.

Pada
keesokan harinya, Imam Abu Hanifah kembali melewati rumah itu dan suara keluhan
si malang terdengar lagi, “Ya Allah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Pemurah,
sudilah kiranya memberikan bungkusan lain seperti kemarin, hanya sekedar untuk
menyenangkan hidupku yang melarat ini. Sungguh jika Tuhan tidak mau memberi,
akan lebih sengsaralah hidupku.”


Mendengar
keluhan yang kedua kalinya, maka Imam Abu Hanifah pun melemparkan lagi bungkusan
berisi uang dan selembar kertas dari luar jendela itu. Kemudian beliau pun meneruskan
kembali perjalanannya. Si malang sangatlah riang setelah mendapatkan bungkusan
itu dan langsung membukanya.

Seperti
bungkusan sebelumnya, di dalamnya berisi uang dan selembar kertas lalu
dibacanya, “Hai kawan, bukan seperti itu cara bermohon, bukan demikian cara
berikhtiar dan berusaha. Perbuatan demikian itu merupakan sifat “malas”.
Putus asa kepada kebenaran dan kekuasaan Allah swt. Sungguh tidak akan ridha
Allah swt melihat orang pemalas dan putus asa, enggan bekerja untuk keselamatan
dirinya. Janganlah berbuat demikian kawan..!. Jika kamu ingin senang, kamu
harus senang bekerja dan berusaha karena kesenangan itu tidak mungkin datang
sendiri tanpa dicari atau diusahakan. Orang hidup tidak disuruh untuk duduk
diam. Namun, harus bekerja dan berusaha. Allah swt tidak akan perkenankan
permohonan orang yang malas bekerja. Allah swt tidak akan mengkabulkan doa
orang yang berputus asa. Oleh karena itu, carilah pekerjaan yang halal untuk
kesenangan dirimu. Berikhtiarlah semaksimal mungkin dengan pertolongan Allah
swt. Insya Allah, kamu akan mendapatkan hasil pekerjaanmu itu selama kamu tidak
berputus asa. Nah, untuk itu segeralah kamu mencari pekerjaan, saya doakan agar
kamu cepat Berjaya sesuai dengan apa yang kamu harapakan.”


Setelah
dia membaca surat dari Imam Abu Hanifah tersebut, dia pun termenung, dia sadar
akan kemalasan yang selama ini dia lakukan. Dia menyadari bahwa dia tidak suka
berikhtiar dan berusaha.

Pada
keesokan harinya, dia pun bergegas keluar dari rumahnya untuk mencari
pekerjaan. Sejak saat itulah, sikapnya pun berubah mengikuti
peraturan-peraturan hidup (sunnatullah) dan tidak lagi melupakan nasihat
orang yang memberikan nasihat itu. Dia pun selalu bersemangat dalam melakukan
pekerjaannya.


Nah,
setalah membaca kisah tersebut kita harus menyadari bahwa tidak ada kesuksesan
atau kesenangan yang dirasakan tanpa adanya usaha. Sebenarnya, Islam tidak
mengenal istilah pengangguran, istilah ini hanyalah digunakan oleh orang-orang
yang mempunyai pemikiran sempit.

Islam
telah mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang selalu berusaha maju ke depan
dan tidak mengajarkan kita untuk duduk diam saja. Jangan sampai hidup kita
dipenuhi dengan keluh kesah. Hiasilah hidup dengan penuh rasa optimis untuk
terus maju dan berusaha.


Sebagai
pribadi muslim yang baik, marilah kita berusaha dan bekerja semaksimal mungkin
untuk mewujudkan segala sesuatu yang kita harapkan. Berdo’a saja tidak cukup,
maka haruslah disertai dengan ikhtiar. Allah swt akan selalu memberikan jalan
bagi hamba-Nya yang mau berdo’a dan berikhtiar. Tidak ada yang tidak mungkin
selama kita mau memperjuangkannya.
Sekian..

Wallahu
‘alam…

Leave a Comment