Nabi Saw ditegur Allah Swt, Karena Orang ini

credit: id.wikipedia.org

Abdullah bin Ummi Maktum, Penyebab Allah Swt menegur Utusan-Nya

Abdullah bin Ummi Maktum – Nama beliau adalah Umar, ada riwayat lain yang menyebutnya
Amr. Kemudian, Rasulullah saw menggantinya dengan nama Abdullah, yang menjadi masyhur
bagi penduduk Madinah. Sedangkan penduduk Irak menyebutnya dengan Amr. Nasab
beliau Abdullah bin Qays bin Zaidah bin Usham.

Beliau adalah sepupu dari istri Rasulullah Saw, Siti
Khadijah binti Khuwailid. Ayahnya adalah Qays bin Zaidah, yang merupakan
saudara dari Ibu Ummul Mukminin Khadijah radhiallahu ‘anha. Ibunya
adalah Atikah binti Abdullah, yang disebut Ummi Maktum (ibu yang tersembunyi). Karena,
dia melahirkan anak difabel. Ya, Abdullah bin Ummi Maktum adalah seorang tuna netra.

Abdullah bin Ummi Maktum memiliki kekurangan fisik, berupa tidak
dapat melihat sejak lahir (tuna netra). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam
bertanya kepadanya,

“Sejak kapan, engkau kehilangan penglihatan?”

Beliau menjawab, “Sejak kecil.”

Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

 

قال الله تبارك وتعالى: إذا ما أخذتُ كريمة عبدي لم أجِدْ له بها
جزاءً إلا الجنة

 

“Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ‘Jika Aku
mengambil penglihatan hamba-Ku, maka tidak ada balasan yang lebih pantas
(baginya), kecuali surga.”

Abdullah bin Ummi Maktum juga merupakan salah seorang
sahabat senior Nabi Saw. Beliau juga termasuk di antara assabiqunal awwalun
(golongan pertama yang memeluk Islam).

 

Tidak ditemukan riwayat yang jelas mengenai kehidupan kecil
beliau hingga remaja. Namun, nama beliau menjadi dikenal, karena beliau menjadi
penyebab turunnya surat Abasa.

Kisah ini dimulai pada masa permulaan dakwah Islam di Mekah.

Pada masa ini, Rasulullah Saw sering mengadakan dialog
dengan para pembesar Quraisy. Hal ini Beliau lakukan, agar mereka mau menerima
Islam.

Karenanya, mereka adalah pemegang kebijakan pada kalangan
masyarakat Quraisy. Jadi, bisa dibayangkan bagaimana efeknya ketika mereka masuk
Islam. Tentunya, hal itu akan memudahkan para pengikutnya,yang masih takut
untuk mengikrarkan Islam untuk memeluk agama tauhid ini.

Di sisi lain, Rasulullah Saw juga ingin menghentikan penganiayaan
terhadap para sahabat Beliau, dari golongan kaum budak dan du’afa. Yang mana
hal mengerikan itu telah mulai ditunjukkan di tempat yang terbuka.

Suatu kesempatan, beliau bertatap muka dengan Utbah bin Rab’iah,
Syaibah bin Rabi’ah, Amr bin Hisyam (Abu Jahal), Umayyah bin Khalaf, dan Walid
bin Mughirah (ayah Khalid bin walid). 

Beliau bersabda, “Tidakkah baik sekiranya kamu datang
dengan begini dan begini?”

Kata mereka, “Benar!”

Ketika Rasulullah Saw sedang sungguh-sungguh berdiskusi
dengan para pemuka Quraisy tentang Islam, tiba-tiba Abdullah bin Ummi Maktum
datang dan berkata:

“Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku ayat-ayat yang telah
diajarkan Allah kepadamu.”

Saat itu, Nabi Saw mengerutkan kening dan tidak memperdulikan permintaan Abdullah
bin Ummi Maktum, karena sedang berdiskusi serius. Beliau hanya melihat kepada
orang yang tiba-tiba datang menegurnya, dan menghiraukan orang itu.

Lalu, Rasulullah Saw membelakangi Abdullah, dan melanjutkan
pembicaraan dengan para pembesar Quraisy tersebut.

Abdullah bin Ummi Maktum tidak berputus asa. Dia masih
mencoba untuk yang kedua kalinya.

“Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku ayat-ayat yang telah
diajarkan Allah kepadamu.”

Namun, Rasulullah Saw menanggapinya dengan cara yang sama.
Dan untuk ketiga kalinya, Abdullah bin Ummi Maktum meminta kepada Rosulullah
Saw, yang menanggapi dengan sikap yang serupa.

Selesai berbicara dengan para pemuka Quraisy, di mana Abdullah
bin Ummi Maktum telah pergi dasi sana, Rasulullah bermaksud hendak pulang. Tapi
tiba-tiba, penglihatan Beliau gelap dan kepala Beliau terasa sakit, seperti dipukul.

Kemudian, Allah mewahyukan firman-Nya kepada beliau,

 

عَبَسَ وَتَوَلَّىٰ [1] أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَىٰ [2] وَمَا
يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّىٰ [3] أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَىٰ [4]
أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَىٰ [5] فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّىٰ [6] وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا
يَزَّكَّىٰ [7] وَأَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَىٰ [8] وَهُوَ يَخْشَىٰ [9] فَأَنْتَ عَنْهُ
تَلَهَّىٰ [10] كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ [11] فَمَنْ شَاءَ ذَكَرَهُ [12] فِي
صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ [13] مَرْفُوعَةٍ مُطَهَّرَةٍ [14] بِأَيْدِي سَفَرَةٍ [15]
كِرَامٍ بَرَرَةٍ
[16]

 

“Dia (Muhammad) yang bermuka masam dan berpaling, karena seorang
buta datang kepadanya. Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (beriman),
atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat
kepadanya?

Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu
melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu, kalau mereka tidak membersihkan
diri (beriman). Adapun orang yang datang kepadamu dengan bergegas (untuk
mendapatkan pengajaran), sedangkan ia takut kepada (Allah), maka kamu
mengabaikannya.

Sekali kali pun jangan (melakukan itu)!

Sesungguhnya ajaran Allah itu suatu peringatan. Maka siapa
yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya. (Ajaran ajaran itu) terdapat di
dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan
para utusan yang mulia lagi (senantiasa) berbakti.” (QS. Abasa: 1 – 16).

Dalam tafsirnya, Imam Ibnu Katsir menjelaskan,

“Saat itu, Rasulullah Saw ingin Ibnu Ummi Maktum (Abdullah
bin Ummi Maktum) untuk diam, agar memberi Beliau waktu berbicara kepada
orang-orang itu (para pemuka Quraisy), sebab Rasulullah Saw sangat berambisi
menarik mereka ke dalam Islam.”

Hal ini menunjukkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw
kepada Ibnu Ummi Maktum memiliki tujuan yang baik. Yakni, untuk kepentingan
dakwah, dan bukan kepentingan Rasulullah sendiri. Namun menurut Allah Swt, cara
itu adalah keliru. Sehingga, Allah Swt berkenan menegur Utusan-Nya.

Dalam Fi Zhilalil-Quran, Ust. Sayyid Quthb menjelaskan,

“Inti persoalan ini bukanlah sekedar bagaimana seharusnya
seorang manusia diperlakukan, atau bagaimana seharusnya sekelompok manusia
diperlakukan. Dimensinya lebih jauh dan lebih agung dari sekedar hal itu.

Inti persoalannya adalah: bagaimana seharusnya seorang manusia
menimbang segala urusan dalam kehidupan ini? Dan dari mana manusia mengambil ‘nilai-nilai’
tersebut untuk dijadikan parameter?

Dan, arahan Rabbani dalam ayat itu menegaskan, bahwa
hendaknya manusia di muka bumi mengambil nilai-nilai dan parameter dari
pandangan Allah saja, yang datang kepada mereka dari langit. Dan, tidak
terkontaminasi dengan kepentingan-kepentingan mereka (rendahan) di bumi.

Nilai-nilai yang dimaksud, bukan muncul dari
pandangan-pandangan yang terikat dengan kepentingan bumi.” (Fi Zhilalil-Quran
juz 6 3825)

Sejak hari itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
semakin memuliakan Abdullah bin Ummi Maktum.

“Selamat datang orang yang karenanya, Allah menegurku.”

Itulah sepenggal kalimat yang selalu diucapkan Rasulullah
saw. saat berjumpa dengan ‘Abdullah Bin Ummi Maktum, sebagai penghormatan. Karena
atasnya, Rasulullah saw. menyadari kekeliruan dan kesalahan sikapnya, saat ditegur
Allah Swt.

Sejak itulah, Rasulullah Saw begitu memuliakan dan melayani
kebutuhan Ibnu Ummi Maktum hingga akhir hayatnya. Nabi Saw juga sering
mengulang kalimat di atas, apabila berjumpa dengannya.

Sejak itulah, Rasulullah Saw begitu memuliakan dan melayani
kebutuhan Ibnu Ummi Maktum hingga akhir hayatnya.

Seiring dengan masuknya Abdullah bin Ummi Maktum menjadi
seorang Muslim, banyak hal mulai terjadi dalam dunia Islam. Penyiksaan dari kaum
Quraisy juga menjadi semakin kejam, sehingga tiba saatnya, ketika Allah
memerintahkan Rasul-Nya dan kaum muslim untuk hijrah ke Madinah.

Saat itu terjadi, Abdullah bin Ummi Maktum adalah orang yang
pertama-tama menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya tersebut. Walaupun beliau
memiliki kendala seperti fisik yang tidak sempurna, jarak antara Mekah dan
Madinah yang jauh (sekitar 490 km), ancaman dari orang-orang Quraisy, bahaya
dalam perjalanan. Namun, semua itu tidak menghalangi Ibnul Ummi Maktum untuk
memenuhi perintah Allah dan Rasul-Nya.

Abdullah bin Ummi Maktum bergegas menyiapkan diri untuk
hijrah, bersama dengan Mus’ab ibn Umair, di mana mereka ikut dalam rombongan sahabat
pertama, yang pergi ke Madinah.

Begitu sampai di Yatsrib (Madiah), Abdullah bin Ummi Maktum dan
Mus’ab ibn Umair mulai berdiskusi dengan para penduduk. Lalu, mereka berdua
membacakan Alquran, dan mengajarkan kepada mereka tentang agama Allah Swt.

Beberapa waktu berselang, saat tiba di Madinah, Nabi Saw menunjuk
Bilal bin Rabbah dan Abdullah bin Ummi Maktum untuk menjadi muazin untuk memerintahkan
shalat lima kali sehari.

Bilal akan mengumandangkan adzan, dan Abdullah akan mengumandangkan
iqamah. Terkadang, mereka bertukar posisi.

Selama bulan Ramadhan, mereka melakukan rutinitas khusus.
Salah satu dari mereka mengumandangkan azan, untuk membangunkan semua orang
untuk sahur, hingga sebelum puasa dimulai. Sedangkan yang lain akan
mengumandangkan azan untuk mengumumkan awal fajar dan puasa.

Umumnya, Bilal bin Rabbah yang membangunkan semua orang, dan
Abdullah bin Ummi Maktum yang akan mengumumkan awal subuh.

Kemudian, di lain waktu, kedua muadzin Rasulullah Saw ini,
Bilal bin Rabah dan Abdullah bin Ummi Maktum radhiallahu ‘anhuma,
memiliki waktu khusus untuk mengumandangkan adzan.

Bilal bin Rabah menyerukan adzan pada waktu shalat tahajud, yang
saat ini termasuk sunnah Nabi yang sudah jarang kita temui di era sekarang. Sedangkan
Abdullah bin Ummi Maktum akan mengumandangkan adzan, pada saat datangnya waktu
shalat subuh.

Dari Ummul Mukminin, Aisyah radhiallahu ‘anha,

 

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: ” أَنَّ بِلَالًا كَانَ
يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ لَا
يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ

 

“Sesungguhnya, Bilal adzan pada waktu (sepertiga) malam.
Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Makan
dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan. Karena, ia tidak akan adzan,
kecuali setelah terbitnya fajar shadiq (masuk waktu subuh).”

Pada suatu hari, beliau sowan kepada Baginda Rasulallah Saw,
untuk mengajukan izin tidak melaksanakan salat di masjid.

“Wahai Rasulallah,” katanya. “Aku lelaki yang tak dapat
melihat, rumahku jauh dari masjid, dan tak memiliki penuntun jalan yang layak.
Apakah aku memiliki rukhshah (keringanan) untuk menjalankan salat di
rumah?”

“Ya!” jawab Baginda Rasul.

Abdullah bin Ummi Maktum beranjak keluar, akan tetapi segera
dipanggil Nabi Saw.

“Apakah engkau mendengar seruan shalat?” tanya Beliau.

“Ya,” jawab Abdullah.

“Aku tak menemukan rukhshah buatmu!”

Bersama dengan ‘Itban bin Malik, Abdullah bin Ummi Maktum dikenal
sebagai lelaki masjid. Karena, semangat beliau dalam berjamaah di Masjid Nabawi.

‘Itban bin Malik adalah sahabat Anshar yang ikut hadir dalam
perang Badar, Uhud, dan Khandaq. Akan tetapi, beliau kehilangan penglihatan
setelahnya. Meski begitu, ia tetap menjalankan aktifitasnya sebagai imam
masjid.

Dalam riwayat lain, ‘Itban bin Malik mengajukan izin kepada
Nabi Saw untuk tak hadir di masjid.

“Wahai Rasulallah, saya kehilangan penglihatan dan banjir
menghalangiku dari masjid. Apakah (aku telah memiliki) uzur (halangan)?”

“Apakah engkau mendengar seruan shalat?” tanya Baginda Saw.

“Ya.”

“Aku tak menemukan uzur buatmu, jika engkau mendengar
seruan shalat.”

Di era Madinah ini pula, Abdullah bin Ummi Maktum seringkali
menggantikan Rasulullah Saw sebagai imam masjid, saat beliau bepergian keluar
Madinah, salah satunya saat dia pergi untuk membebaskan Kota Makkah. Ibn Abdul
Barr meriwayatkan, beliau menggantikan Rasulullah Saw sebanyak tiga belas kali.

Dalam riwayat lainnya lagi, beliau kemudian mengajukan izin
kepada Rasulallah Saw untuk mendirikan mushalla dalam rumah yang ia gunakan,
saat beliau benar-benar tak mampu menjadi imam di masjid. Baginda Rasul saw pun
mengizinkannya.

Di waktu ini pula, Abdullah bisa mengabdikan diri kepada
Nabi Saw.

Sejak memeluk Islam, beliau sangat ingin menghafal Al-Qur’an.
Setiap ada waktu senggang, beliau memanfaatkan waktu tersebut untuk menghafal
wahyu Allah itu. Karena antusiasnya mendalami Al-Qur’an, beliau terpilih
sebagai wakil Rasulallah Saw di Madinah, mengimami shalat jamaah di mihrab Beliau,
dan istiqomah untuk berdiam di sebelah kiri mimbar dengan khusyuk.

Kehormatan itu berawal, ketika Perang Badar akan bergejolak.

Saat itu, Abdullah bin Ummi Maktum menyampaikan keinginannya
untuk dapat ikut berjihad kepada para sahabat. Tentu saja para sahabat merasa
sangat senang karena keutamaan yang dimiliki Ibnu Ummi Maktum. Walau matanya
buta, beliau mengharapkan, agar dapat ikut berperang bersama Rasulullah dan
pasukan Muslimin. Namun, Rasulallah Saw menunjuknya sebagai wakil beliau di
Madinah, pada saat Beliau dan 313 mukminin lainnya menghadapi peperangan untuk pertama
kalinya.

Kemudian setelah pertempuran Badar, Nabi menerima sebuah
wahyu dari Allah Swt yang menaikkan status mujahidin (mereka yang ikut
berperang) daripada qa’idin (mereka yang tetap tidak aktif di rumah). Hal
ini untuk mendorong para mujahidin lebih jauh lagi, dan memacu qa’idin
melepaskan ketidak-aktifannya dalam fii sabilillah.

Allah Swt berfirman, “Tidaklah sama antara orang mukmin
yang qa’idin (yang tidak ikut berperang).”

Wahyu ini sangat mempengaruhi Abdullah bin Ummi Maktum. Dia
merasa iri, karena tidak dapat berjihad bersama sahabat lainnya, untuk
mendapatkan penghargaan lebih tinggi sebagai seorang muhajid.

Dia berkata:

“Wahai utusan Allah, jika aku bisa terus berjihad,
tentu saja aku pasti akan melakukannya.”

Kemudian dengan sungguh-sungguh, Abdullah bin Ummi Maktum
meminta kepada Allah Swt untuk menurunkan sebuah wahyu, tentang kasus
istimewanya dan orang-orang seperti dirinya, yang dicegah mengikuti perang, karena
ketidak-mampuan mereka untuk berperang.

Beliau pun berdoa,

“Ya Allah, Kamu memberiku ujian(keadaan) seperti ini,
bagaimana aku dapat berbuat…?”

Kemudian, turunlah ayat lainnya,

“Selain yang mempunyai udzur…” (Surah An Nisa
ayat 95)

Selang beberapa saat, doa beliau dijawab. Wahyu tambahan pun
diturunkan untuk membebaskan kewajiban berperang bagi para difabel/penyandang
kekurangan fisik, dalam mengikuti perang.

Meskipun demikian, karena tak ada larangan untuk berperang,
itu tidak lantas membuat beliau berpuas diri. Ibnu Ummi Maktum tetap mempunyai
hasrat yang kuat untuk berjihad fii sabilillah bersama barisan kaum
Muslimin. Beliau telah mengutarakan hasratnya berulang kali. Beliau berkata
kepada para sahabat Rasulullah Saw,

“Serahkanlah panji kepadaku, karena sesungguhnya aku
adalah seorang buta sehingga tidak akan dapat melarikan diri. Tempatkanlah aku
di antara kedua pasukan!”

Pada akhirnya, Hasrat sang sahabat yang mulia dan agung ini dikabulkan
oleh Allah Swt.

Pada tahun 14 H, pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Umar
bin Khattab radhiallahu ‘anhu, beliau mengadakan konfrontasi dengan
Kerajaan Persia. Beliau menulis surat kepada para gubernur-nya dengan
mengatakan,

“Jangan ada seorang pun yang tertinggal dari orang-orang
yang memiliki senjata, orang yang mempunyai kuda, atau yang berani, atau yang
berpikiran tajam. Melainkan, hadapkan semuanya kepadaku sesegera mungkin!”

Lalu berkumpullah para muslimin, yang tergabung dalam
pasukan besar ini di Madinah. Umar menunjuk kursi pimpinan tertinggi kepada Sa’d
bin Abi Waqqas di hadapan para tentara, memberinya instruksi, dan mengucapkan
selamat tinggal kepada mereka semua.

Di antara pasukan tersebut, terdapat Abdullah bin Ummi
Maktum, yang tinggal di Irak, pasca wafatnya Rasulallah Saw.

Dia berkata: “Tempatkan aku di antara dua barisan, dan
beri aku panji kalian. Aku akan membawanya untukmu dan melindunginya. Karena, aku
buta dan tidak dapat melarikan diri.”

Ketika pasukan itu mencapai Qadisiyyah, Abdullah bin Umm
Maktum tampil dengan mengenakan baju besinya, tampil gagah, dan bertugas
memegang panji bendera Islam. Baginya, Amirul Mukminin telah membuka kesempatan
bagi semua muslimin untuk berjihat dalam perang ini. Sehingga, beliau pun tak
mau melewatkan kesempatan emas ini, walaupun tingkat bahaya berlipat ganda,
karena kondisi fisik beliau.

Abdullah bin Umm Maktum telah bersumpah untuk membawa panji,dan
melindungi kaum Muslimin, atau terbunuh dalam prosesnya.

Pasukan Islam dan pasukan Persia berhadap-hadapan, dan
bertempur selama tiga hari.

Pertempuran itu termasuk yang paling sengit dan pahit dalam
sejarah perluasan kekuasaan kaum Muslimin. Pada hari ketiga atau hari terakhir
peperangan, kaum Muslimin mencapai kemenangan besar dengan mengalahkan pasukan
negara adidaya Persia.

Salah satu kerajaan terbesar di dunia itu runtuh, dan salah
satu pemegang tahta yang kuat juga ikut terjatuh. Dakwah tauhid pun menyebar luas
di tanah Kerajaan besar itu.

Harga kemenangan besar ini tentu saja harus sepadan. Banyak
kaum Muslimin yang gugur dalam prosesnya. Di antaranya adalah Abdullah bin Ummi
Maktum. Beliau ditemukan gugur di medan perang, sambil mencengkeram panji kaum Muslimin
yang diamanatkan kepadanya untuk dijaga.

 

Keistimewaan Abdullah bin Ummi Maktum

 

Dalam sejarah Islam, beliau dikenal memiliki ilmu dan adab
istimewa, yang dikaruniakan Allah kepadanya. Hal ini menggantikan kekurangan fisik
beliau dan menjadi cahaya dalam pandangan dan pancaran di hati beliau. Sehingga,
Abdullah bin Ummi Maktum dapat melihat dengan bashirah (mata hati), melihat
apa-apa yang tidak dapat dilihat oleh mata kepala orang lain.

Hatinya dapat mengetahui apa yang tersembunyi.

Ibnu Ummi Maktum juga mempunyai naluri yang sangat peka,
untuk mengetahui waktu. Setiap menjelang fajar, dengan perasaan jiwa yang segar,
beliau keluar dari rumahnya. Dengan bertopang pada tongkat atau bersandar pada
lengan salah seorang kaum Muslimin, beliau mengumandangkan azan di masjid Nabawi.

Abdullah bin Ummi Maktum selalu bergantian mengumandangkan
azan, dengan Bilal bin Rabah. Jika salah satu dari keduanya menyerukan azan,
maka yang lainnya bertindak mengumandangkan iqamat. Namun ada kalanya, Bilal
mengumandangkan azan di sepertiga malam terakhir untuk membangunkan kaum
Muslimin, sedangkan Abdullah mengumandangkan datangnya waktu Subuh.

Oleh sebab itu, Rasulullah bersabda -terkait waktu sahur
pada bulan Ramadhan-,

“Makan dan minumlah kalian, hingga Ibnu Ummi Maktum
mengumandangkan azan…”

Selain memiliki keistimewaan sebagai seorang muadzin
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abdullah bin Ummi Maktum juga
merupakan orang kepercayaan Nabi Saw.

Saat Rasulullah berangkat ke medan perang, beliau selalu
mengangkat Abdullah bin Ummi Maktum menjadi wali kota sementara di Kota Madinah,
menggantikan beliau yang sedang berperang. Setidaknya,13 kali Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
mengangkat beliau sebagai wali kota sementara.

Keistimewaan lainnya adalah, Allah Ta’ala menjadi saksi jika
Abdullah bin Ummi Maktum adalah seseorang yang sangat mencintai Al-Qur’an dan
sunnah Nabi-Nya.

Rasulullah Saw pernah mendapat teguran dari Allah Swt,
lantaran mengedepankan para pembesar Quraisy daripada Abdullah bin Ummi Maktum.
Lalu, hal ini bertambah dengan ketentuan Allah Swt tentang berperang bagi orang
yang mampu dan berhalangan ikut berperang, termasuk di antaranya adalah Abdullah
bin Ummi Maktum.

Wallohu’alam

Leave a Comment