Bagaimana Hukum Mewakilkan Sholat Istikharah?

credit: umroh.com

 

Hukum
Mewakilkan Sholat Istikharah kepada Orang Lain
Ketika
kita mempunyai keinginan untuk memantapkan pilihan, namun  hati dipenuhi keraguan. Hal itu sering
terjadi dalam realitas kehidupan kita yakni rasa bimbang terhadap suatu hal
yang akan kita lakukan. 

Allah
subhanahu wa ta’ala menciptakan manusia sebagai makhluk terbaik diantara
makhluk lainnya dimuka bumi ini. Namun, dari banyaknya kesempurnaan yang Allah
anugerahkan kepada manusia, bukan berarti manusia itu tidak memiliki
kekurangan.
Sejatinya
sifat dasar manusia itu memiliki kelemahan. Dimana kelemahan tersebut merupakan
suatu kecenderungan manusia untuk merasa ragu dan tidak yakin atas pilihan yang
ia putuskan, terutama ketika dihadapkan dengan suatu permasalahan yang
mendesak. Maka, Allah subhanahu wa ta’ala memberikan tuntunan syari’at
berupa “Shalat Istikharah”.
Secara
bahasa, istikharah diambil dari bahasa Arab
( إستخار – يستخير )
yang artinya meminta kebaikan pada sesuatu. Sedangkan menurut istilah, para
ulama menjelaskan bahwa maknanya adalah :
صلب
الإختيار
“Meminta
pilihan.”
Shalat
istikharah (mohon pilihan) adalah shalat yang dilakukan ketika seseorang
memohon kepada Allah agar dipilihkan yang terbaik mengenai apa yang diinginkan. 
Adapun
hal-hal yang menjadi penyebab boleh dilakukan salat istikharah adalah sesuatu
yang hukumnya tidak wajib dan tidak haram. Sebab sesuatu yang hukumnya wajib,
maka mutlak harus dikerjakan. Sedangkan sesuatu yang hukumnya haram, maka
mutlak hukumnya untuk ditinggalkan tanpa adanya keraguan.
Banyak
hal yang seringkali menjadi latar belakang seseorang melaksanakan salat
istikharah. Diantaranya ketika memilih pekerjaan, memilih melanjutkan jenjang
pendidikan, memutuskan suatu kepentingan baik itu untuk dirinya maupun untuk
umat. Salah satu kebiasaan yang paling sering digunakan sebagai alasan
seseorang melakukan salat istikharah ialah ketika memilih jodoh.
Memilih
jodoh merupakan perkara yang sangat penting dan agung, karena jodoh merupakan
salah satu mekanisme kehidupan yang bersifat sangat krusial. Dimana jodoh bisa
saja mengantarkan kita ke surga atau bahkan menjerumuskan kita ke jurang api neraka.
Jodoh akan menemani perjalanan hidup kita. Maka disyariatkan untuk melaksanakan
shalat istikharah terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk melanjutkan ke
jenjang pernikahan.
Tuntunan
shalat istikharah ini merupakan wujud kasih sayang Allah atas sifat dasar
manusia yang memiliki kelemahan. Cara memilih berdasarkan syari’at ini merupakan
tuntunan yang sejatinya dibutuhkan oleh manusia sepanjang hidup, agar setiap
keputusan yang diambil senantiasa istiqomah dalam kebenaran. 
Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 147.
ٱلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ ۖ فَلَا
تَكُونَنَّ مِنَ ٱلْمُمْتَرِينَ




“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu,
sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.”
Hukum
salat istikharah adalah sunnah yang didasarkan pada makna hadits shohih dari
Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Apabila
salah seorang diantara kalian akan melakukan suatu urusan, maka hendaklah ia
melaksanakan salat dua rokaat selain salat fardhu…”
(HR. al-Jamaah
selain Muslim).
Ketika
seseorang belum yakin dengan hasil istikharahnya, maka boleh diulang sampai
maksimal tujuh kali shalat. Hal ini didasarkan pada makna sebuah hadis marfu’ :
“Hai Anas, apabila kamu menghendaki suatu urusan, maka lakukanlah salat
istikharah kepada Tuhanmu sebanyak tujuh kali. Kemudian perhatikanlah pilihan
yang segera datang ke dalam hatimu, karena kebaikan terdapat di dalamnya.”
(HR. Ibnu Sunni dari Anas).
Berdasarkan
makna hadis diatas juga, dapat kita pahami bahwa pilihan sebagai petunjuk Allah
subhanahu wa ta’ala setelah melakukan shalat istikharah adalah melalui
keyakinan dan kemantapan hati yang bertambah atas sesuatu yang menjadi tujuan
melakukan salat istikharah.
Dari
mana kita mendapatkan petunjuk sebagai hasil istikharah? 
Memang
ada yang mencari petunjuk hasil shalat istikharah itu melalui mimpi dalam tidur
sesudah dilakukannya salat istikharah. Adapula yang mengetahuinya dengan cara
membuka Alquran (menurut ijazah dari guru saya).
Walaupun
hal ini tidak ada dasar hukumnya tetapi hampir semua orang Islam mempercayai
petunjuk hasil shalat istikharah itu melalui mimpi, bahkan di kalangan ulama
sekalipun. Persoalannya adalah apakah mimpinya itu benar-benar merupakan
petunjuk Allah atau bukan?
Mengenai
mimpi ada banyak hadis sahih yang diriwayatkan oleh para sahabat, diantaranya dalam
hadis riwayat Imam Ahmad dinyatakan:
رؤيا
الرجل المسلم، وهي جزء من أجزاء النبوة
“Mimpi
seorang muslim, itu adalah bagian dari bagian-bagian kenabian”
Hadits
ini mempunyai arti bahwa mimpi orang mukmin yang sholeh itu bisa merupakan ilham
yang berarti pula adalah petunjuk dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Dalam
hadits lain, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Pada
akhir zaman nanti hampir semua mimpi orang mukmin tidak ada yang bohong. Mimpi
mereka yang paling benar akan menjadi berita yang paling benar pula. Mimpi itu
ada tiga macam, yaitu: mimpi yang bagus adalah kabar gembira dari Allah, mimpi
yang menggelisahkan adalah dari setan, dan mimpi yang bercerita tentang diri
sendiri. Ketika salah seorang diantara kamu mimpi buruk, maka bangun dan
shalatlah, dan janganlah kamu menceritakan mimpi tersebut kepada
siapapun.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Abu
Hurairah)
Jadi,
mempercayai mimpi itu diperbolehkan. Mimpi yang mana dan mimpi siapa yang dapat
dipercaya sebagai petunjuk dari Allah? Maka jawabannya kita kaitkan dengan tiga
macam mimpi tersebut.
Tentulah
mimpi orang mukmin yang sholeh sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas.
Karenanya banyak umat Islam yang tidak percaya diri untuk melakukan salat istikharah
apalagi setelah dia bermimpi.
Kebanyakan
dari masyarakat dan kalangan para santri pun sering meminta bantuan kepada para
kyai, ustadz, ahli agama, dan seseorang yang dikenal alim serta taat beribadah
untuk mengistikharahi hajat atau keperluan mereka. Hal ini, dikarenakan para kyai
dan ahli agama merupakan orang yang pastinya lebih dekat dengan Allah. Sehingga
hasil dari shalat istikharah yang dilakukan orang biasa dengan yang dilakukan
oleh orang alim pastinya berbeda.
Dalam
kasus mewakilkan salat istikharah ini, ternyata para ulama ada yang mengatakan
boleh dan ada pula yang mengatakan bahwa hal tersebut tidak boleh.
1.     
Boleh
Para ulama Malikiyah dan Syafi’iyah mengatakan bahwa mewakilkan
salat istikharah kepada orang lain itu diperbolehkan. Dalilnya adalah hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam:
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ
يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang
mampu dari kalian untuk menolong saudaranya, maka lakukanlah.” (HR. Muslim).
Selain itu, meminta tolong kepada orang lain untuk melakukan shalat
istikharah merupakan bahasa lain dari memohon doa lewat perantaraan orang lain.
Karena hakikat dari salat istikharah itu sendiri adalah “do’a”.
Maka, meminta bantuan orang yang diyakini lebih alim dan taat
beribadah untuk melakukan istikharah justru merupakan salah satu bentuk
washilah (perantara) yang dibenarkan.
Mengenai washilah, Allah subhanahu wa ta’ala sendiri yang
memerintahkan umat Islam untuk mencari washilah dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah agar tercapainya suatu tujuan. 
Hal ini didasarkan pada makna
firman Allah:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟
ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱبْتَغُوٓا۟ إِلَيْهِ ٱلْوَسِيلَةَ وَجَٰهِدُوا۟ فِى
سَبِيلِهِۦ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya,
dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”
(QS. Al-Maidah:35)
2.     
Tidak boleh
Sebagian ulama
mengatakan bahwa mewakilkan salat istikharah kepada orang lain tidak
diperbolehkan, karena pada dasarnya ibadah salat merupakan tanggung jawab
personal yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain.
Ibnu Abdil Barr
menjelaskan dalam kitabnya Al-Istidzkar bahwa perkara salat tidak bisa
diwakilkan kepada orang lain, baik itu salat fardu maupun salat sunnah, baik
itu untuk orang yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.
Lalu, pendapat
mana yang harus kita ikuti?
Berdasarkan
beberapa pendapat, maka yang dikuatkan adalah pendapat yang mengatakan bahwa “hukumnya
boleh” mewakilkan shalat istikharah kepada orang lain. Praktik ini
diperbolehkan oleh syara’. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Al Kharsyi
di dalam kitab Syarh Mukhtasar Khalil:
مشايخهم أنها بالنسبة
إلى غيرها
“Syekh-syekh dari mazhab Malik mengatakan bahwa salat istikharah
mereka nisbatkan kepada yang lain.”
Pendapat yang dikemukakan oleh Al Kharsyi tersebut mengindikasikan
bahwa sebagian masyayikh biasa mengistikharahkan orang lain.
Sebagaimana
yang dijelaskan di atas bahwa sebagian ulama juga ada yang mendasarkan
kebolehan meminta orang lain untuk melaksanakan salat istikharah dengan
hajatnya berdasarkan hadis riwayat Muslim di dalam kitab sahihnya dari sahabat
Jabir bin Abdillah.
Wallahu ‘alam..

Leave a Comment